Riauaktual.com - Tiga keluarga miskin yang bertempat tinggal di sebuah rumah panggung berukuran 4x6 meter di Kampung Pasir Pari, Desa Pasir Huni, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, harus makan dengan lauk kulit singkong karena tak sanggup membeli makanan yang lebih layak.
"Tidak punya uang untuk membeli lauk pauk. Ini saja (kulit singkong) dimasak," kata Unesih, 63 tahun, ketika ditemui, Kamis, 24 Agustus 2017.
Unesih tinggal bersama anak dan cucu-cunya yang seluruhnya berjumlah 12 orang. Mereka terpaksa tidur berdesak-desakan karena tidak mampu dan terhimpit ekonomi.
Ada tiga keluarga yang menempati rumah berdinding bilik yang sudah pada bolong ini. Kepala keluarga hanya bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu sehari.
"Inginnya rumah diperbaiki, cuma uang dari mana," kata salah seorang penghuni rumah, Asep Supriadi. Asep berharap, pemerintah ataupun pihak lain bersedia membantunya. Dia dan keluarga ingin sekali membangun rumah agar layak ditempati.
Untuk saat ini jangankan membangun rumah, untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka sudah kerepotan. Bahkan, ibunda Asep, Unesih terpaksa memasak kulit singkong untuk lauk pendamping nasi.
Sebelum dimasak, kulit singkong dicuci hingga bersih. Unesih kemudian menyalakan tungku api, dan menaruh ketel di atasnya. Setelah ketel panas dia memasukan kulit singkong dan menaburi bumbu alakadarnya lalu memasaknya.
"Bumbunya paling pecin (vetsin), garam. Sudah itu saja. Makannya dengan nasi," ucapnya seperti dilansir tempo.co.
Untuk membantu perekonomian sang anak, Unesih memungut bekas batang padi yang butir padinya sudah "digebug" pemilik. Dia mengumpulkan jerami tersebut kemudian menggebug ulang dengan harapan ada butir padi yang belum jatuh saat proses penggebugan pertama.
"Namanya Ngajabra (proses pemungutan bekas jerami). Berharap masih ada padi yang masih menempel," kata dia. Kondisi rumah keluarga Unesih ini diperparah dengan tidak adanya kamar mandi di dalam rumah. Jika ingin buang air kecil, mandi dan mencuci pakaian, mereka harus pergi ke WC umum tak jauh dari rumah.
"Warga sini tidak punya WC sendiri. Untung ada WC umum yang dibangun SMA dari Jakarta," kata Unesih. Dia mengaku harus antre di kamar mandi umum pada pagi hari. Ini dikarenakan banyak warga yang memakai kamar mandi tersebut.
"Harus pagi-pagi jika ingin mencuci, jam 04.00 harus sudah di sana. Kalau tidak, harus antre. Air juga semakin sedikit jika makin siang," kata Unesih. Salah seorang warga, Jaja, 52 tahun, mengatakan, wc umum tersebut digunakan oleh 33 keluarga.
"Hanya ada satu wc di satu RT," katanya. Kamar mandi umum tersebut tidak dilengkapi kloset. Jika ingin buang air besar, mereka harus berjalan 500 meter ke sebuah pancuran.
Jaja mengatakan, warga menginginkan agar wc umum diperbanyak. Tentunya dilengkapi dengan toilet. "Pak Bupati, datanglah ke sini. Lihat kondisi warga sini," katanya.
Sekretaris Desa Pasir Huni, Yadi Cahyadi mengakui banyak warganya yang masuk kategori warga miskin. "Warga tidak mampu ada 430 orang," katanya.
Ihwal rumah warga tidak layak huni, Yadi mengatakan, tiap tahun selalu mengusulkan kepada pemerintah daerah agar diberi bantuan untuk diperbaiki. Namun yang mendapat bantuan tidak banyak.
"Tiap tahun diusulkan. Ada 300 rumah tidak layak huni. Sudah diusulkan 280 rumah agar diperbaiki. Tapi belum ada konfirmasi kapan keluar (bantuan)," kata dia.
Terkait warga yang tidak memiliki kamar mandi, Yadi mengatakan, kampung Pasir Pari berada di dataran tinggi sehingga ketersediaan air sangat minim. Air yang dipakai untuk wc umum di sana berasal dari kampung tetangga.
"Untuk mengalirkan air ke wc umum butuh pipa sepanjang 1,5 km," katanya. Pemerintah Desa Pasir Huni, kata Yadi bukan tidak memprioritas pembangunan wc umum bagin warga miskin di kampung Pasir Pari. Saat ini, kata dia, desanya sedang fokus memperbaiki infrastruktur jalan. (das/tempo)
